0

Merebut Kembali Ruang: Melindungi Universitas sebagai Pilar Demokrasi di Asia Tenggara

Penulis: Andra Kusuma
Merebut Kembali Ruang: Melindungi Universitas sebagai Pilar Demokrasi di Asia Tenggara

BLOG.TRIBUNJUALBELI.COM - Para akademisi, pendidik, dan pegiat hak asasi manusia dari berbagai negara di Asia Tenggara akan berkumpul dalam konferensi regional bertajuk “Reclaiming the Space”, sebuah acara dua hari yang menyoroti urgensi untuk memulihkan dan melindungi ruang intelektual serta ruang demokratis yang kian menyempit di kawasan ini.

Diselenggarakan oleh Southeast Asia Coalition for Academic Freedom (SEACAF) bekerja sama dengan berbagai universitas terkemuka dan organisasi masyarakat sipil, konferensi ini mempertemukan akademisi, pembuat kebijakan, dan aktivis untuk menghadapi ancaman yang semakin meningkat terhadap kebebasan akademik di tengah kemunduran demokrasi, represi negara, dan sensor di Asia Tenggara.

“Kebebasan akademik bukanlah sebuah hak istimewa melainkan fondasi dari prinsip-prinsip demokrasi,” ujar Dr. Bencharat Sae Chua, Direktur SEACAF sekaligus dosen di Institute of Human Rights and Peace Studies. “Ketika para akademisi dibungkam, dan universitas serta ruang kelas berubah menjadi tempat yang dipenuhi ketakutan, masyarakat kehilangan kemampuan untuk mempertanyakan kekuasaan dan membayangkan alternatif.”

Memetakan Ruang yang Kian Menyempit

Sesi pleno pertama bertajuk “Tightening Spaces: Mapping Academic Freedom Across Southeast Asia” akan membahas lanskap kompleks pembatasan yang dihadapi universitas dan para peneliti mulai dari pengawasan dan intimidasi hingga undang-undang yang membatasi kebebasan berekspresi atas nama keamanan nasional.

Para pembicara dalam sesi ini meliputi Dr. Chomkate Ngamkaiwan (IHRP), Satria Unggul Wicaksana Prakasa (KIKA, Indonesia), Assoc. Prof. Khoo Ying Hooi (Universiti Malaya), Celso da Fonseca (National University of Timor Leste), dan Sabae Khine (PNMD Programme).

Merebut Kembali Agensi dan Aksi

Sesi pleno kedua bertajuk “Agency and Action: Paths to Reclaiming Spaces for Academic Freedom in Southeast Asia” akan menyoroti strategi ketahanan dan perlawanan mulai dari jaringan solidaritas hingga metode pembelajaran kreatif yang menantang represi.

Para pembicara mencakup Seree Nonthasoot (Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), Kwadwo Appiagyei-Atua (Africa Coalition for Academic Freedom), Atty. Renee Co (Dewan Perwakilan Rakyat Filipina), Jack Mayerhofer (Scholars at Risk), dan Dr. Vachararutai Boontinand (IHRP).

“Meskipun ruang kebebasan kian menyempit, kawasan ini terus menyaksikan keberanian luar biasa dari para pendidik dan mahasiswa yang menolak menyerahkan ruang kelas kepada rasa takut,” ujar Assoc. Prof. Khoo Ying Hooi, moderator sesi kedua sekaligus anggota pendiri SEACAF. “Tindakan mereka mengingatkan kita bahwa merebut kembali ruang bukan sekadar soal perlindungan, tetapi juga tentang menciptakan lahan baru bagi dialog, pengetahuan, dan solidaritas.”

Mengapa Penting

Konferensi ini bertujuan untuk memperdalam kerja sama regional dalam mempelajari dan membela kebebasan akademik, dengan menghimpun para akademisi, peneliti, dan aktivis yang menelaah bagaimana ruang akademik dibentuk, ditantang, dan direbut kembali di Asia Tenggara.

Dengan mengumpulkan beragam perspektif dan temuan empiris, konferensi ini menjadi wadah untuk mengidentifikasi bidang penelitian baru, merumuskan agenda riset masa depan, serta memperluas pemahaman tentang kebebasan akademik dari dimensi politik, sosial, budaya, hukum, dan kelembagaan.

Melalui inisiatif ini, konferensi menegaskan kembali peran universitas sebagai ruang bagi pemikiran kritis, perbedaan pendapat, dan keterlibatan demokratis, sekaligus memperkuat jejaring lintas negara serta mendorong rekomendasi perlindungan institusional dan reformasi kebijakan yang mengakui kebebasan akademik sebagai bagian penting dari hak asasi manusia.

Mengangkat Suara Generasi Muda

Menjelang konferensi utama, SEACAF juga mengadakan Youth Rising Creative Workshop, sebuah ruang partisipatif yang dirancang untuk memperkuat suara para akademisi muda, seniman, dan aktivis dari berbagai negara di kawasan ini.

Melalui cerita, seni visual, dan media digital, para peserta mengeksplorasi bagaimana ekspresi kreatif dapat menjadi bentuk perlawanan sekaligus sarana dialog dalam merebut kembali ruang akademik dan ruang publik. (*)