TRIBUNJUALBELI.COM - Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dan kebutuhan mendasar manusia.
Selain tempat berlindung, rumah juga menjadi tempat untuk tumbuh, dan mendewasa bersama keluarga.
arena fungsinya tersebut, kebutuhan akan rumah semakin meningkat, terutama bagi generasi milenial.
Cek harga, Dijual Rumah di Perumahan Murah Ber Subsidi Di Dekat Medan Sunggal Tanjung Anom - Deli Serdang
Generasi ini telah memiliki kesadaran pentingnya memiliki tempat tinggal dan tidak lagi bergantung pada orang tua.
Sekarang, kelompok ini berada dalam usia produktif dan banyak di antaranya menjadi konsumen properti untuk pertama kali.
Namun demikian, banyak dari milenial masih memiliki keterbatasan penghasilan atau bisa disebut golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Cek harga, Dijual Rumah Murah Bagus Subsidi, Cikarang Taman Sukamulya Indah, Cikarang - Bekasi
Pendapatan rata-rata generasi milenial pada 2016 adalah Rp 6.072.111 per bulan.
Sedangkan untuk dapat mencicil rumah di Jakarta dengan harga termurah Rp 300 juta, dibutuhkan pendapatan minimal Rp 7,5 juta per bulan.
Padahal, kenaikan harga rumah itu diambil yang paling minimal saat pasar properti sedang lesu.
Sementara jika ditelusuri secara historis sejak 2009-2012 yang merupakan era ledakan (booming) properti, kenaikan harga rumah bisa mencapai 200 persen, atau 50 persen per tahun.
Peningkatan harga rumah dalam lima tahun kurun 2016-2021 sekitar 150 persen, sedangkan kenaikan pendapatan hanya 60 persen dalam periode yang sama.
Dengan estimasi kenaikan minimal 20 persen per tahun, harga rumah yang dipatok Rp 300 juta pada 2016 akan menjadi Rp 750 juta pada tahun 2021.
Bandingkan dengan kisaran penghasilan generasi milenial pada tahun 2021 yang hanya ada di angka Rp 12 juta.
Dengan penghasilan Rp 12 juta tersebut, generasi milenial tidak lagi mampu membeli rumah yang sebenarnya terjangkau oleh mereka pada 2016 lalu.
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pun menganalisis bagaimana kemampuan generasi milenial bisa mendapatkan rumah berdasarkan penghasilan, zona nilai tanah, dan harga properti di kawasan penyangga Jakarta.
Hasil analisis menunjukkan, rumah yang dapat dibeli seharga Rp 168,8 juta berdasarkan besaran upah mininum provinsi (UMP) Jakarta yakni Rp 4.416.186.
Selain itu, didasari oleh 34.000 petak zona nilai tanah dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan lebih dari 2.236 rekam data harga jual rumah di situs daring.
Itu merupakan harga terendah rumah baru tipe 36 di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Temuan pekerja UMP Jakarta dapat menjangkau rumah kecil dengan harga Rp 168 juta didapatkan dari simulasi kredit.
Simulasinya dengan cicilan maksimum sebesar 35 persen dari gaji Rp 1,5 juta, jangka waktu 15 tahun, dan bunga tetap 8 persen per tahun.
Dari hitungan tersebut, harga rumah yang bisa dijangkau sekitar Rp 168 juta-Rp 200 juta.
Bagi pekerja bergaji Rp 7 juta atau cicilan Rp 2,5 juta per bulan, harga rumah yang bisa dibeli sekitar Rp 250 juta-Rp 300 juta.
Kepemilikan rumah baru di DKI Jakarta sudah hampir mustahil bagi masyarakat dengan tingkat penghasilan tersebut.
Dari analisis terlihat, nilai tanah yang tinggi menyebabkan rumah tapak tipe 36 di Jakarta minimum seharga Rp 556 juta.
Tidak terjangkaunya hunian di Jakarta juga bisa dilihat dari perbandingan harga rumah dengan penghasilan.
Konsep price income ratio (PIR) menyebut, harga rumah dikategorikan terjangkau apabila tidak lebih dari tiga kali penghasilan rumah tangga dalam setahun atau berskor 3.
Menurut hitungan PIR, kemampuan pekerja Jakarta membeli rumah berkisar Rp 40,4 juta hingga Rp 158 juta selama 2010-2011.
Ini dibandingkan dengan harga rumah tapak tipe 36 yang sudah mencapai Rp 300 juta pada tahun 2010, dan terus naik hingga 2021 mencapai Rp 564 juta.
Artinya, terdapat selisih yang besar antara kemampuan pekerja Jakarta membeli rumah dengan harga rumah.
Selisih selama 10 tahun terus membesar yang semula sebesar Rp 259 juta pada tahun 2010, kemudian naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 405 juta.
Atas dilema yang dihadapi milenial ini, Direktur Jenderal (Dirjen) Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid mengakui pemerintah mungkin terlambat mengurus tanah untuk perumahan terjangkau.
Menurut Khalawi, jika 20 tahun yang lalu pemerintah telah membuat Bank Tanah, negara mungkin bisa membeli dan mengelola lahannya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah Lambat Urus Tanah, Milenial Hampir Mustahil Punya Rumah "
Penulis : Suhaiela Bahfein
Editor : Hilda B Alexander